Desa Ranupani, Kabupaten Lumajang
Pagi itu terasa sangat sejuk, kicauan burung temani niat baik-ku tuk menyapa alam Indonesia. Mentari mulai menampakan kilau nya di sudut gunung yang gelap. Munculah secercah cahaya yang mengubah kelam menjadi terang. Bayang hitam sang gunung pun malu-malu untuk pergi. Datanglah awan putih bersimbah cahaya kuning keemasan, menabur keindahan di setiap pelosok rimba.
Sapaan ramah penduduk, nyaring terlantun dalam alunan irama indah udara pagi. Perlahan keramaian memecah sunyi kala itu. Lalu lalang pedagang, penjajak jajanan sampai aktifitas kesahrian lainnya meramu nada sumbang tak bernotasi. Sungguh pemandangan indah nan eksotis.
Ketika itu saya bergegas memburu warung kecil di pojok kampung. Di situ saya dan teman-teman memuaskan panggilan perut yang sedari malam memanggil. Sebenarnya warung itu lebih layak disebut rumah warga biasa. Tapi, karena acara yang saya ikuti itu lumayan meriah, otomatis masyarakat sekitar memaksimalkan peluang membuka usaha, meski kecil-kecilan dan memaksakan.
Itu lah hidup, bila tak demikian entah apa yang kan terjadi. Pepatah Sunda mengatakan "mun teu ngarah, moal ngarih". Artinya mungkin senada dengan "bila tak mencari, maka tak akan menanak nasi".
Ya begitu lah, bagaimana tidak mereka berpikir demikian, peserta dari acara yang saya ikuti itu hampir menarik kalangan pendaki diseluruh Indonesia. Jumlah pesertanya saja lebih dari seribu orang dan inti acaranya adalah mendaki gunung. Sudah tentu masyarakat berlomba-lomba memangfaatkan momen tersebut sebagai ladang usaha musiman.
Ada yang berjualan makanan--seperti warung yang saya ceritakan ini--. Ada pula yang berbentuk jasa. Contohnya seperti, menyewakan base camp atau semacam guest house.
Selain itu juga ada yang menyewakan alat-alat pendakian seperti tenda, keril, sepatu treking, sendal, kompor, dll. Sampai jasa porter pendakian pun tersedia.
Masyarakat seakan kejatuhan durian montong yang bijinya berlapis emas. Mereka berbondong-bondong menyambut pengunjung dengan segala bentuk usaha mereka memuliakan tamu. Meski pun itu tidak geratis.
Tapi tak mengapa. Bagi saya, hal itu menambah suasana acara semakin meriah. Terlebih saya mengagumi sambutan mereka yang tak pernah melupakan senyumnya. Bersyukurlah saya pada Allah, karena dilahirkan di negri bermanusia ramah.
Dengan lahap saya menyantap menu pagi itu. Meski sederhana, hanya nasi kuning berteman tempe-tahu dan suwiran telur dadar, ditambah kerupuk gurih. Tapi itu cukup memuaskan, karena harganya yang sangat murah. Cukup mengeluarkan tiga ribu rupiah saja.
Entah apa yang dipikirkan masyarakat dengan mematok harga semurah itu. Padahal akses dari desa ke kota lumayan jauh. Belum lagi angkutan umum yang terbatas, hanya ada mobil bak terbuka dan truk. Itu pun tidak setiap waktu berhilirmudik.
Meski begitu, saya merasa sangat senang. Perjalanan ini membuat saya menemukan hikmah yang mungkin takan pernah terbayangkan oleh manusia yang hanya duduk manis, diam di tempat yang nyaman, dan terlelap dengan aman.
Pada hakikatnya Allah mencukupkan segalanya. Masyarakat desa tak pernah kukurangan apa pun, hidup sederhana dan berkecukupan. Diberikan tanah yang subur, gunung yang indah, cuaca yang bagus, dan udara yang segar. Dan itu membuat saya termenung sesaat.
Betapa indah Bumi ini. Betapa luas lah semesta. Wahai Indonesia, saya bangga menjadi bagian darimu, semoga Allah menjagamu beserta penduduk desa kecil ini, Ranupani. Sebuah desa di bawah gunung Semeru, tanah tertinggi pulau Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar